Jumat, 30 Oktober 2009

Pembajakan

Acara peringatan Hari Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)) pada 26 april 2005 tampaknya menjadi momen yang sangat penting, terutama dikaitkan dengan masih maraknya aksi pembajakan dalam semua bidang (kaitan kekayaan intelektual). Indonesia kini juga lebih peduli terhadap HaKI. Paling tidak, indikasinya terlihat dari pemberlakuan UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pemberlakuaan UU ini pada 29 Juli 2003 lalu ternyata memicu kontroversi: apakah ini menjadi surga atau justru neraka bagi konsumen dan produsen?

Di tengah semangat untuk mencintai produk-produk dalam negeri, ada sentimen negatif menyatakan bahwa Indonesia adalah sarang pembajak, khususnya untuk software. Kasus ini memang sangat mencemaskan sebab aksi pembajakan di Indonesia telah merugikan negara sekitar 70-80 juta dolar AS per tahun. Bahkan yang lebih ironis, bahwa peredaran perangkat lunak asli atau legal yang beredar di Indonesia hanya sekitar 12 persen, sedang selebihnya merupakan produk bajakan. Hal ini bisa terus terjadi karena Indonesia punya nilai pangsa pasar software sekitar 101 juta dolar AS per tahun. Oleh karena itu, bagi para pembajak ini merupakan surga dan didukung oleh penegakan hukum terhadap kasus-kasus tersebut masih lemah. Sangat rasional jika pemberlakuan UU No 19 Tahun 2002 menjadi sangat dilematis dari sisi konsumen.

Dengan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa banyak konsumen di Indonesia yang menggunakan barang bajakan kenapa bisa begini?

masyarakat di Indonesia masih banyak yang kurang makmur dibandingkan negera lain karena itu menurut saya harga yang ditawarkan,bajakan jauh lebih murah dan lebih mudah didapatkan di Indonesia.

Selain itu di Indonesia belum diterapkan secara efektif hukum mengenai pembajakan-pembajakan yang dilakukan pemerintah.
untuk itu saya sarankan pemerintah seharusnya menertipkan pembajakan secara detail agar pembajakan di Indonesia dimusnahkan...

0 komentar:

Posting Komentar